Sabtu, 18 Mei 2013

Nama lengkapnya adalah Abdul Ghofur, ia adalah putra bapak H.Martokan dan ibu Hj. Kasiyami. Ia lahir di Desa Banjarwati, KecamatanPaciran, Kabupaten Lamongan, pada tangal 12 Februari 1949. Ia adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai guru ngaji di kampungnya dan bekerja sebagai petani dan pedagang batu gamping. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai penjahit baju di rumahnya.
Secara geografis, Desa Banjarwati merupakan desa yang berada di pesisir pantai utara Jawa dan daratannya berupa perbukitan yang banyak menghasilkan batu gamping, sehingga tidak

mengherankan jika ayahnya dahulu bekerja sebagai petani dan pedagang batu gamping. Untuk mendapatkan batu gamping, H.Martokan menambang dan memprosesnya sendiri di kebunnya. Di sampingberdagang, H. Martokan juga bertani di kebunnya. Pekerjaan tersebut dijalankannya setiap hari karena semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Kehidupan Ghofur di masa kecil beserta keluarganya termasuk dalam kehidupan yang sangat sederhana. Dengan jumlah keluarga yang cukup banyak,seringkali mereka sekeluarga makan seadanya. Terkadang ibunya memasak makanan Parutan Ketela Pohon buat Ghofur dan keluarganya.31 Mengingat pada masa-masa tersebut adalah masa-masa yang sulit, di mana banyak masyarakat yang masih kekurangan makan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Ghofur kecil telah tumbuh menjadiseorang anak laki-laki yang sehat dan cerdas. Seperti halnya anak laki-laki yang lain, semasa kecil ia gemar bermain, mencari burung di hutan, dan bercanda ria dengan teman-teman sebayanya. Sejak usia kanak-kanak ia belajar mengaji di langgar32 milik ayahnya yang berada di depan rumahnya. Melalui bimbingan
langsung dari ayahnya, ia belajar al-Qur’a>n, tuntunan ibadah, tauhid dan akhlaq.
Masa kecil Ghofur dilaluinya dengan penuh perjuangan. Jiwa
kepemimpinannya sudah nampak sejak kecil. Ia bukanlah tergolong dari keluarga
yang kaya raya, akan tetapi karena semangatnya yang tinggi dan tidak kenal putus
asa dalam mencari ilmu, maka ia dapat mengalahkan prestasi belajar temantemannya
yang telah bergelimang dengan harta. Ia juga dikenal sebagai anak yang
suka menolong kesulitan teman-temannya.
H. Martokan yang merupakan ayah Ghofur adalah seorang tokoh
masyarakat dan guru ngaji yang cukup disegani oleh masyarakat di kampungnya.
Walaupun hidupnya yang serba pas-pasan, tetapi H. Martokan dikenal masyarakat
sebagai seorang kiai langgar yang sangat dermawan. Banyak langgar dan masjid
yang dibangunnya, baik di desanya sendiri maupun di luar desanya. Sejak lama ia
31Mukarrom, Wawancara, Lamongan, 6 Juni 2011.
32Sekarang tempat bekas lokasi langgar tersebut sudah berubah fungsi, dibangun Gedung Asrama
Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat.
20
bercita-cita ingin mempunyai anak yang kelak bisa menjadi seorang ulama yang
dapat meneruskan perjuangannya di tengah-tengah masyarakat.33 Karena itu ia
bercita-cita bahwa Ghofur kecil kelak akan dikirim untuk belajar ke pondok
pesantren-pondok pesantren lain di luar daerahnya.
Mengawali pendidikan formalnya, Ghofur kecil sekolah di SD Negeri
Desa Kranji, Kecamatan Paciran pada pagi hari, sedangkan sore harinya ia sekolah
di Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatut Tholabah Desa Kranji Kecamatan Paciran yang
keduanya ia tamatkan pada tahun 1962. Pada usia tersebut ia juga belajar ilmu
agama kepada Mbah Kiai Abu Bakrin34 yang dikenal oleh masyarakat setempat
sebagai seorang yang ‘alim dan mempunyai karomah. Aktivitas Mbah Kiai Abu
Bakrin di samping mengajar ilmu agama, ia juga menjadi juru kunci makam Sunan
Drajat. Karena rumah Mbah Kiai Abu Bakrin bersebelahan dengan makam Sunan
Drajat.35
Adapun kitab-kitab yang diajarkan oleh Mbah Kiai Abu Bakrin kepada
Ghofur kecil antara lain kitab Sulam-Safinah, ‘Aqi>dat al-Awwa>m, dan
Jurumiyyah. Khusus pelajaran kitab Jurumiyyah metode yang dipakai dalam
mengajarkan kitab tersebut adalah dengan metode Hafalan di samping Bandongan
maupun Sorogan. Pemakaian metode Hafalan, Bandongan maupun Sorogan dalam
pembelajaran kitab-kitab tersebut merupakan tradisi yang sudah biasa dipakai
secara turun temurun. Hampir setiap hari para santri yang mengaji diharapkan
untuk menyetorkan hafalannya, termasuk Ghofur kecil. Oleh sebab itu dalam usia
yang relatif masih muda, Ghofur kecil sudah hafal naz{am-naz{am yang ada di
dalam kitab Jurumiyyah tersebut.36
Seiring dengan berjalannya waktu, Ghofur kecil tumbuh menjadi anak
muda dan gagah. Kemudian selepas menamatkan pendidikan dasarnya, Ghofur
muda melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Tarbiyatut Tholabah Desa Kranji
Kecamatan Paciran yang ditamatkan pada tahun 1965. Di usia ini, sore harinya ia
juga belajar ilmu agama kepada Mbah Kiai Adelan37 yang merupakan pengasuh
Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Desa Kranji, Kecamatan Paciran. Adapun
kitab yang diajarkan kepadanya adalah kitab Fath{u al-Qari>b dan Tafsi>r Jala>layn.
Metode yang pakai oleh Mbah Kiai Adelan dalam mengajarkan kedua kitab
tersebut dengan menggunakan metode Sorogan dan metode Bandongan setiap
hari secara bergantian. Hal ini dijalani oleh Ghofur muda dengan penuh semangat
33Supandi, Wawancara, Lamongan, 19 Mei 2010.
34Mbah Kiai Abu Bakrin hidup tahun 1910-1980, ia masih keturunan Sunan Drajat dari jalur
keturunan Pangeran Kepel atau R. Ontokusumo. Kebanyakan penduduk Desa Drajat dua atau tiga
generasi pernah belajar mengaji kepadanya (Lihat Tim Peneliti dan Penyusun Buku Sejarah Sunan
Drajat, Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1998), 267 dan 273.
35Muhammad Amin Hasan, Wawancara, Lamongan, 19 Mei 2010.
36Muhammad Amin Hasan, Wawancara, Lamongan, 19 Mei 2010.
37Kiai Adelan ini juga termasuk keturunan Sunan Drajat (Lihat Tim Peneliti dan Penyusun Buku
Sejarah Sunan Drajat, Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara
(Surabaya: Tim Peneliti dan Penyusun Buku Sejarah Sunan Drajat, 1980.
21
yang tinggi agar ia mempunyai ilmu agama yang kelak diharapkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Muhammad Amin Hasan,38 dulu Ghofur muda mempunyai
semangat yang sangat luar biasa dalam menuntut ilmu. Ia berbeda dari temanteman
sebayanya. Ia sangat rajin mengikuti pengajian yang disampaikan oleh
Mbah Kiai Abu Bakrin dan Mbah Kiai Adelan, baik dalam kondisi cuaca hujan
maupun kondisi cuaca terang ia tetap berangkat ke kediaman beliau berdua.
Biasanya ia berangkat bersama kedua teman akrabnya. Kedua temannya tersebut
adalah Pak Amin dan Abdul Mughni.39 Mereka oleh Muhammad Amin Hasan
disebut “Tiga Serangkai”. Sebutan “Tiga Serangkai” diberikan karena
menunjukkan betapa eratnya rasa persahabatan di antara mereka bertiga.
Setiap hari mereka bertiga bergantian menyusul untuk berangkat mengaji
ke Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah maupun ke rumah Mbah Kiai Abu
Bakrin. Mereka membawa sepeda masing-masing atau terkadang bergantian untuk
berboncengan. Hal ini mereka lakukan dengan senang dan penuh semangat tanpa
mengenal lelah demi ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat.40
Menurut Muhammad Amin Hasan, guru-gurunya seringkali
menganjurkan agar santri-santrinya tidak hanya belajar agama di daerahnya
sendiri, tetapi juga mereka dianjurkan untuk belajar ke tempat lain yang lebih
jauh. Karena dengan jauhnya dari kedua orang tua, keluarga dan kampung
halamannya akan membuat seorang santri dapat terhindar dari urusan-urusan yang
mengganggu konsentrasi belajarnya. Oleh sebab itu, Ghofur muda berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikannya yang agak jauh dari tempat tinggalnya.
Seiring dengan keinginanannya itu, Ghofur muda minta restu kepada
kedua orang tuanya untuk melanjutkan studi ke luar daerahnya. Kemudian selepas
ia menamatkan Madrasah Tsanawiyah Tarbiyatut Tholabah, Ghofur muda
melanjutkan ke Madrasah Aliyah Mamba’ul Ma’arif sambil nyantri di Pondok
Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang sampai ia lulus tahun 1968.
Semasa nyantri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, ia
sempat mendapatkan pendidikan langsung dari KH. Bisri Syamsuri yang
merupakan salah seorang tokoh penting Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Setamat dari Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah Mamba’ul Ma’arif
Denanyar Jombang, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Keramat dan Pondok
Pesantren Sidogiri yang keduanya berada di Kota Pasuruan. Hal ini dijalaninya
selama satu tahun. Kemudian pada tahun 1970 ia melanjutkan studinya lagi ke
Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah di bawah asuhan KH. Zubeir selama satu
tahun pula. Di sinilah ia belajar untuk memperdalam ilmu alat (nah{wu-s{araf), serta
kajian-kajian kitab kuning yang mengacu kepada fiqih.
Menurut Mukarrom, ketika Ghofur muda belajar di Pondok Pesantren
Sarang Jawa Tengah, Ghofur muda teringat masa kecil dahulu terhadap pesan dari
38Teman Kiai Ghofur sejak kecil.
39Muhammad Amin sekarang adalah Mantan Pegawai KUA, sedangkan Abdul Mughni tersebut
menjadi Kiai di Kecamatan Karang Geneng yang sekarang sudah meninggal dunia.
40Muhammad Amin Hasan, Wawancara, Lamongan, 19 Mei 2010.
22
Mbah Kiai Abu Bakrin. Ia berpesan bahwa jika kelak Ghofur sudah dewasa dan
belajar di Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah, maka carilah orang yang
bernama Mbah Bola.41 Karena Mbah Bola adalah orang yang sangat ‘alim baik
ilmu agama maupun ilmu kanuragannya. Oleh sebab itu, ketika ia nyantri di
Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah, maka ia mencari orang yang bernama
Mbah Bola tersebut dan akhirnya berhasil ditemukan. Setelah bertemu dengan
Mbah Bola, maka Ghofur muda belajar di sana. Dari sanalah Ghofur muda banyak
mendapatkan ilmu agama khususnya bidang tasawuf, ilmu kanuragan, dan
pengobatan.42
Jejak langkahnya dalam mencari ilmu masih belum berakhir sampai di
sini. Pada tahun 1971-1975 Ghofur muda juga menimbah ilmu di Pondok
Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Tetek (KH. Ma’ruf Zuaeni) dan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an (KH. Asy’ari) Kediri. Di beberapa Pondok Pesantren
Kediri inilah ia belajar ilmu pengobatan tradisional dan ilmu bela diri. Pada saat
waktu yang luang dalam tahun-tahun tersebut ia juga sempat menimbah ilmu
agama di Pondok Pesantren Salafiyah Asy-Syafi’iyah Situbondo. Dengan melihat
riwayat pendidikan yang dialami oleh Ghofur muda tersebut di atas, maka di
samping ia mengenyam pendidikan di lembaga formal (SD/MI, MTs, MA), ia
juga mengenyam pendidikan di lembaga nonformal, yaitu pendidikan di pondok
pesantren. Akhirnya sepulang dari perjalanannya mencari ilmu ke berbagai tempat
yang ada, maka Ghofur muda mencoba mengamalkan ilmunya kepada masyarakat.
Kemudian, berawal dari keakrabannya dengan para pemuda Desa
Banjarwati dan sekitarnya, maka Ghofur muda mencoba mendekati para pemuda
dengan kegemaran mereka. Mereka umumnya gemar bermain sepak bola, pencak
pilat dan orkesan. Namun ada juga mereka yang gemar dengan minum-minuman
keras, berjudi, tawuran, dan lain-lain. Tetapi bagian dari kegemaran mereka yang
termasuk di dalamnya adalah kerusakan moral seperti minum-minuman keras,
berjudi, dan tawuran, Ghofur muda tidak ikut larut di dalamnya. Ia mencoba
mengajak mereka untuk kembali kepada jalan yang benar melalui hal-hal yang
positif.43
Langkah pertama yang ia lakukan ketika bergaul dengan mereka adalah
dengan bermain sepak bola, orkesan, dan latihan pencak silat. Tidak jarang Ghofur
muda ikut bermain sepak bola bersama pemuda Desa Banjarwati dan bahkan ia
sering mengadakan pertandingan di luar desanya. Ia juga sempat mendirikan Club
Sepak Bola di kampungnya. Langkah yang ditempuh oleh Ghofur muda tersebut
ternyata tidak sedikit masyarakat yang mencemoohnya. Ada sebagian tokoh
masyarakat yang mengomentarinya tidak sedap. Sebagian mereka berkata, “Jauhjauh
mondok ke mana-mana, akhirnya ya begitu saja.”44 komentar-komentar
tersebut menunjukkan adanya ketidaksenangan sebagian masyarakat terhadap
manuver Ghofur muda dalam ‘merangkul’ para pemuda desa tadi. Tetapi Ghofur
41Menurut Mukarrom mungkin namanya Mbah Hasbullah.
42Mukarrom, Wawancara, Lamongan, 6 Juni 2010.
43Ibid.
44Supandi, Wawancara, Lamongan, 19 Mei 2010.
23
muda tidak menghiraukan komentar-komentar mereka. Ia tetap pada pendiriannya
ingin mengajak para pemuda untuk kembali ke jalan yang benar melalui sepak
bola, orkesan, dan pencak silat.
Berkaitan dengan olah raga pencak silat, ia dikenal oleh teman-temannya
mempunyai ilmu tenaga dalam yang tinggi. Banyak adegan yang ditampilkan oleh
Ghofur muda kepada mereka. Misalnya badannya tidak terluka ketika ditusuk dan
digores dengan pedang, dengan pecahan kaca atau benda tajam, dapat memukul
lawan tanpa menyentuh badan lawan, dan sebagainya. Dengan demikian banyak
pemuda yang tercengang melihat permainan ilmu tenaga dalamnya, dan kemudian
mereka banyak yang menyatakan diri ingin berguru kepadanya.45
Melihat jumlah murid yang ingin berguru pencak silat tersebut semakin
banyak, maka akhirnya Ghofur muda mendirikan perguruan pencak silat dengan
nama GASPI (Gabungan Silat Pemuda Islam). Begitu pula berkaitan dengan
kegemaran para pemuda terhadap seni musik orkes. Ghofur muda pun mendekati
mereka dengan mendirikan Group Orkes Qasidah Modern Persada Ria Sunan
Drajat. Bermula dari langkah-langkah tersebut di atas, maka pada tanggal 7
September 1977 Ghofur muda mulai mendirikan Pondok Pesantren Sunan Drajat
untuk menampung para santri yang ingin belajar silat dan ilmu agama. Di samping
itu didirikannya pondok pesantren tersebut sebagai lembaga untuk
mengembangkan dakwah, dan kemudian oleh masyarakat di sekitarnya ia
dipanggil dengan sebutan Kiai Ghofur.
B. Realitas Sosial Dakwah Multidimensional Kiai Ghofur
Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, pertama; konstruksi dakwah
Kiai Ghofur terdiri atas 3 bagian yaitu: dakwah bi al-lisa>n, dakwah bi al-qalam,
dan dakwah bi al-h{a>l. Berikut ini penulis uraikan secara singkat.
1. Dakwah bi al-Lisa>n
Dakwah bi al-lisa>n mempunyai dua metode yaitu: metode public
speaking meliputi pengajian kitab, ceramah agama, khotbah Jumat, dan metode
konseling. Metode public speaking mempunyai karakteristik: (1) senang
memakai bahasa Jawa; (2) menggunakan gaya bertutur yang komunikatif dan
figuratif; (3) materinya aktual; (4) menggunakan bahasa “bunga”; (5)
menyisipkan cerita-cerita; (6) biasanya memberikan Ijazah atau tuntunan doa;
(7) memberikan sugesti kepada mad’u>; (8) lebih senang dalam ceramah agama
atau pengajian kitab yang ada dialognya. Sedangkan media yang digunakan
untuk menyampaikan pesan dakwah melalui public speaking meliputi: (1)
khotbah Jumat dengan media langsung melalui mimbar Jumat; (2) ceramah
agama dengan media langsung atau dengan orkes; (3) pengajian kitab dengan
media Radio Persada FM., Radio Prameswara Lamongan, dan Televisi Sunan
Drajat (SDTV).
Selain dakwah bi al-lisa>n dengan melalui public speaking, Kiai Ghofur
juga melalui konseling. Dakwah melalui pendekatan konseling agama ini
merupakan agenda khusus Kiai Ghofur. Hampir setiap hari ia selalu melayani
45Ibid.
24
para tamu yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan penyelesaian
terhadap masalah yang sedang dihadapinya.Beragam masalah yang dihadapi
para tamu dan Kiai Ghofur berusaha untuk mencarikan jalan penyelesaiannya.
Misalnya; tamu yang datang ada yang berobat, meminta nasihat agama,
meminta solusi, meminta doa agar karirnya lancar, dan sebagainya. Karena itu,
dalam konteks ini Kiai Ghofur berusaha memusatkan perhatian dakwahnya
kepada kelompok orang-orang yang sedang mengalami permasalahan hidup.
Menurut penulis, Kiai Ghofur dalam menyampaikan dakwah bi al-lisa>n
ini menggunakan pendekatan konseling yang berorientasi pada penegakan
potensi tauhid yang ada pada diri mad’u> dan menumbuhkan rasa percaya diri
dalam menghadapi serta menyelesaikan masalah. Penegakan potensi tauhid
dimaksud adalah upaya dasar dan utama dalam proses konseling yang
dilakukan, sebelum beranjak kepada layanan-layanan lainnya. Misalnya, ketika
ada seorang mad’u> yang mengalami sakit stroke. Kiai Ghofur tidak langsung
mengobati sakit si pasien tersebut, tetapi melakukan pembicaraan-pembicaraan
yang intinya menasihati agar mad’u> (pasien) mau meningkatkan kualitas
keimanan dan ketakwaannya, mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek
kehidupan secara konsisten, meningkatkan kualitas amal saleh agar senantiasa
dekat dengan Allah, dan seterusnya. Upaya yang dilakukan oleh Kiai Ghofur ini
dapat pula dimaknai sebagai upaya menggiring mad’u> untuk memperoleh
hidayah Allah sebagai bekal mengarungi kehidupan ini secara benar dan lebih
baik. Setelah mad’u> (pasien) diberikan nasihat-nasihat dakwah, maka Kiai
Ghofur memberikan pengobatannya terhadap penyakit yang diderita oleh si
mad’u> (pasien) tersebut.
Adapun obat yang diberikan kepada setiap pasien tidak selalu sama,
tergantung diagnosis yang dilakukan oleh Kiai Ghofur terhadap si pasien.
Mereka ada yang diberi herbal atau ramu-ramuan tradisional, ada yang diberi
garam, dan apa pula yang diberi air suwuk. Di samping itu, mereka juga
didoakan agar cepat sembuh, dan seterusnya. Hal ini dilakukan oleh Kiai Ghofur
sebagai bagian dari dakwah bi al-lisa>n dengan cara memberikan solusi atau
penyelesaian terhadap mad’u> yang sedang mengalami permasalahan hidup.
Dakwah bi al-lisa>n dengan metode konseling terdapat beberapa
karakteristik yaitu: (1) memberikan solusi kepada mad’u>; (2) meyakinkan
mad’u> dengan menggunakan rumus-rumus fisika; dan (3) menggunakan cara
individu dengan teknik eklektik. Sedangkan media dakwah yang digunakan
melalui konseling ini dengan menggunakan media langsung (face to face).
2. Dakwah bi al-Qalam
Banyak pendakwah yang mampu berbicara di podium, tetapi ia kurang
mampu menuangkannya dalam sebuah tulisan. Jika dilihat frekwensi dakwah bi
al-lisa>n jauh lebih besar ketimbang dakwah bi al-qalam. Namun demikian ada
juga pendakwah yang hebat ketika di podium dan hebat pula berdakwah melalui
tulisan.
Dakwah bi al-qalam dengan kekuatannya mempengaruhi massa yang
mampu membawa perubahan dalam masyarakat. Perubahan adalah pola pikir
25
dan perilaku dalam masyarakat. Pengembangan media cetak semakin mencuat
karena media ini merupakan salah satu media yang bisa diperoleh oleh siapa
saja dan di mana saja berada. Andai saja para ulama dahulu tidak menulis kitabkitab
dan buku-buku agama, tentu pengetahuan agama Islam menjadi musnah di
muka bumi ini. Karena itu perkembangan pengetahuan agama Islam juga berkat
dari buah goresan pena ulama dan sarjana muslim masa lalu.
Seiring dengan kemajuan zaman yang berdampak pada terbentuknya
individu-individu yang semakin penting memahami arti pendidikan maka
semakin banyak individu yang memerlukan informasi juga semakin tinggi. Di
sini media cetak apapun bentuknya memegang peranan penting dalam
memenuhi kebutuhan informasi tersebut. Misanya informasi keagamaan yang
ditulis oleh para pendakwah melalui surat kabar, buletin, majalah, dan
sebagainya.
Majalah Menara Sunan Drajat, merupakan media resmi yang
diterbitkan oleh Yayasan Pondok Pesantren Sunan Drajat. Majalah ini hadir di
tengah-tengah masyarakat agar berfungsi sebagai media informasi, sosialisasi,
motivasi, bahan diskusi, pendidikan, memajukan kebudayaan, hiburan, dan
sebagainya. Fungsi tersebut dielaborasi dalam upaya untuk kepentingan
dakwah. Kiai Ghofur berharap agar pesan dakwah yang disampaikan tidak
hanya melalui media massa elektronik (radio dan televisi) dan media massa
yang multimedia dengan live streaming-nya di internet saja, tetapi juga media
massa cetak yang berupa Majalah Menara Sunan Drajat.
Penerbitan Majalah Menara Sunan Drajat ini dilakukan setiap 6 bulan
sekali. Sampai sekarang sudah tercatat 3 edisi yang sudah diterbitkan. Adapun
pendistribusian majalah ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu dibagikan
kepada para santri Pondok Pesantren Sunan Drajat (gratis) dan para alumninya.
Di samping itu, pendistribusiannya juga dilakukan melalui penjualan di
Koperasi Smesco Mart Pondok Pesantren Sunan Drajat yang lokasinya berada
di depan Pondok Pesantren Sunan Drajat. Usaha ini dilakukan agar penyebaran
dakwah khususnya melalui tulisan ini mempunyai jangkauan wilayah yang
cukup luas.
Dalam menuangkan ide pemikirannya yang terangkum dalam materi
dakwah, Kiai Ghofur telah menulis di beberapa edisi Majalah Menara Sunan
Drajat. Sampai saat ini, penulis telah menemukan tulisan-tulisan Kiai Ghofur
terdapat di tiga buah Majalah Menara Sunan Drajat yang baru diterbitkan.
Di samping dakwah bi al-qalam melalui tulisan lepas yang ada di
Majalah Menara Sunan Drajat secara periodik, maka Kiai Ghofur juga
melakukan dakwah bi al-qalam melalui manuskrip saduran ringkas berbahasa
Arab. Manuskrip ini ditulis cukup sederhana. Untuk menuangkan pemikirannya,
Kiai Ghofur menulis beberapa manuskrip saduran ringkas berbahasa Arab yang
merujuk dari berbagai sumber, misalnya dari al-Qur’a>n, al-Hadi>th, kitab-kitab
kuning, dan sebagainya. Biasanya manuskrip ini diberikan kepada para jamaah
yang mengikuti pengajian Kiai Ghofur pada hari Kamis setelah salat Isya’ di
Masjid Pondok Pesantren Sunan Drajat. Kemudian dari manuskrip ini Kiai
Ghofur menjelaskannya melalui pengajian tersebut. Hal ini dilakukan agar
26
mad’u> tidak hanya sebagai pendengar saja, tetapi diupayakan juga menyimak
manuskrip saduran ringkas karya Kiai Ghofur ini agar pesan dakwah yang
disampaikan dapat dipahami dengan baik.
Upaya dakwah bi al-qalam yang dilakukan oleh Kiai Ghofur juga
merupakan suatu cara untuk mengajar dan mendidik orang lain. Dalam hal ini
Kiai Ghofur tidak hanya sekedar menyampaikan pesannya saja untuk diterima
oleh mad’u>, tetapi juga menyampaikan analisisnya agar lebih mudah dicerna
orang lain. Dakwah bentuk ini juga merupakan salah satu cara untuk
mempengaruhi opini orang lain. Tulisan akan memiliki kekuatan yang dahsyat
untuk mengubah pola pikir para mad’u> yang membacanya. Demikian
dahsyatnya dakwah bi al-qalam ini dapat mempengaruhi pemikiran dan
tindakan orang lain. Kata-kata hanya mempengaruhi sebagian orang yang
mendengar saja, namun tulisan dapat mempengaruhi jutaan orang yang
membacanya dari generasi ke generasi sepanjang tulisan itu masih ada dan
dibacanya.
Penulis melihat bahwa dakwah melalui manuskrip saduran ringkas
berbahasa Arab yang ditulis oleh Kiai Ghofur ini sebenarnya memiliki
kelebihan-kelebihan antara lain: (1) Memiliki struktur paparan yang lebih
singkat dan praktis, jika dibandingkan dengan media kitab yang terkesan
uraiannya banyak dan membutuhkan waktu yang relatif lama jika dijelaskan.
media lisan; (2) Pesan-pesan yang dirangkai dalam manuskrip tersebut dapat
dirumuskan secara lebih hati-hati, sehingga jika sewaktu-waktu Kiai Ghofur
melakukan kesalahan pada saat menulis, ia dapat memperbaikinya sebelum
manuskrip diberikan dan dibacakan kepada jamaah pengajian yang hadir; (3)
Manuskrip yang ditulis dapat dipikirkan ulang, jika sewaktu-waktu ditemukan
oleh pembacanya ada hal-hal yang sulit dipahami; (4) Manuskrip dapat
disimpan sementara, untuk kemudian dibaca kembali jika diperlukan dan
bahkan jika sewaktu-waktu diperlukan, karya manuskrip ini dapat diulang-ulang
untuk dibaca, sehingga proses internalisasi pesan di kalangan para pembacanya
memiliki peluang yang lebih besar, bila dibandingkan dengan proses
penyampaian pesan sepintas diterima; (5) Jika ditemukan istilah asing yang
belum dipahami maknanya, maka jamaah (mad’u>) bisa menanyakan langsung
kepada Kiai Ghofur ketika bersama dalam pengajian tersebut, sehingga makna
substansi dari manuskrip yang dimaksud dapat dipahami dengan baik.
Selain kelebihan-kelebihan di atas, penulis juga melihat bahwa ada sisi
kelemahan dari bentuk dakwah bi al-qalam melalui penulisan manuskrip
saduran berbahasa Arab yaitu mensyaratkan kemampuan mad’u> dalam
membaca dan memahami manuskrip tersebut, karena manuskrip tersebut ditulis
dengan bahasa Arab. Namun demikian kelemahan tersebut dapat diatasi dengan
penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh Kiai Ghofur bersamaan dengan
ketika manuskrip tersebut sedang dibacakan acara pengajiannya.
3. Dakwah bi al-H{a>l
Dakwah yang pada hakikatnya adalah suatu proses yang
berkesinambungan dan merupakan aktivitas dinamis yang mengarah kepada
kebaikan, pembinaan dan pembentukan masyarakat yang bahagia dunia dan
27
akhirat melalui ajakan yang terus-menerus kepada kebaikan serta mencegahnya
dari perbuatan yang mungkar. Karena itu, kegiatan dakwah merupakan
kewajiban bagi umat Islam secara keseluruhan, baik secara individu sesuai
dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing maupun secara kelompok
atau kelembagaan yang diorganisir secara rapi dan modern, dikemas secara baik
dan profesional, serta dikembangkan secara terus menerus yang mengikuti
dinamika perubahan zaman.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam mencapai
keberhasilan suatu dakwah, maka efektifitas dan efisiensi dalam
menyelenggarakan dakwah merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian
yang serius melalui strategi dakwah yang tepat. Karena itu, berbagai upaya
telah dilakukan untuk mewujudkan strategi dakwah yang tepat, termasuk
dengan cara membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan di
lingkungan pondok pesantren, baik yang formal maupun nonformal.
Sejalan dengan realitas kehidupan sosial yang berkembang di
masyarakat, maka pengembangan nilai-nilai Islam serta peningkatan mutu
pendidikan tentunya menjadi tema pokok dalam membangun lembaga
pendidikan yang merupakan bentuk dari realitas dakwah. Sebagai wujud dari
realitas dakwah bi al-h{a>l tersebut, maka Kiai Ghofur membangun dan
mengembangkan lembaga pendidikan yang cukup banyak jumlahnya, antara lain
terdiri atas lembaga formal dan kepesantrenan: Play Group, Taman Kanakkanak,
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah Al-Mu’awanah, SMPN 2
Sunan Drajat, Madrasah Aliyah Al-Ma’arif 7, Madrasah Mu’allimin-
Mu’allimat, Madrasatul Qur’an, Madrasah Diniyah, SMEA NU, STM Otomotif
NU, SMK Kelautan, Ma’had Aly, dan Sekolah Tinggi Agama Islam Raden
Qosim (STAIRA). Adapun kurikulum yang dipakai dalam lembaga tersebut
umumnya adalah perpaduan tiga kurikulum yaitu perpaduan antara kurikulum
dari pesantren, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan Nasional.
Kiai Ghofur memiliki semangat yang tinggi untuk berdakwah melalui lembaga
pendidikan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Kiai Ghofur dalam
membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan tersebut. Misalnya
mengumpulkan dana, membangun sarana dan prasarana, serta mencurahkan
tenaga dan pikiran untuk mewujudkan dakwah bi al-h{a>l tersebut melalui
pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan. Ia merintis lembaga
pendidikan tersebut di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Sunan Drajat
yang telah dipimpinnya saat ini.
Sebagai sumber dana utama dalam membangun dan mengembangkan
lembaga pendidikan tersebut, Kiai Ghofur mendapatkan pemasukan dari unit
usaha yang berada di bawah Yayasan Pondok Pesantren Sunan Drajat, serta
iuran para santri/siswa/mahasiswa setiap bulan. Adapun uang dari unit usaha
adalah untuk pengembangan sarana Pondok Pesantren, sedangkan uang yang
diambil dari santri/siswa/mahasiswa untuk keperluan kesehatan, listrik dan
pelaksanaan program belajar mengajar.46
46Hudi, Wawancara, Lamongan, 14 Februari 2010.
28
Unit usaha ekonomi yang dilakukan Pondok Pesantren Sunan Drajat
adalah dari industri pupuk, wartel, radio, minimarket (Smesco Mart), dan
sebagainya. Usaha tersebut belum banyak memberi sumbangan terhadap
pemasukan keuangan pondok pesantren, karena masih diprioritaskan kepada
pengembangan sarana fisik. Misalnya pembangunan gedung-gedung baru, ruang
kelas untuk belajar, dan sebagainya.
Pengembangan jenis usaha pada saat ini dititikberatkan pada
pengembangan industri dan jenis usaha lain yang ada di Pondok Pesantren
Sunan Drajat. Hal tersebut mengingat saat ini masih dalam taraf pembenahan,
terutama dalam memenuhi berbagai sarana, fasilitas bagi pelaksanaan program
kependidikan yang ada di pondok pesantren. Di samping itu, pengembangan
juga dilakukan terhadap sumber daya manusia, baik terhadap tenaga pendidik
maupun terhadap tenaga administrasi dan teknis.
Selain itu, Kiai Ghofur juga melakukan dakwah melalui
pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan melalui penghijauan lahan kritis
dengan penanaman buah Mengkudu. Di Pondok Pesantrennya, ia
membudidayakan buah Mengkudu di atas lahan seluas 40 hektar, 300-375 ha
milik masyarakat (wali santri dan alumni), Masyarakat umum 300 – 500 Ha.47
Tanaman ini tidak gampang mati meski di daerah yang kering, seperti di daerah
Paciran Lamongan. Ide ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten
Lamongan yang mencanangkan program reboisasi. Hanya saja, penanaman buah
Mengkudu baru berhasil ketika kiai Ghofur mampu menarik hati masyarakat
untuk melakukan budidaya jenis tanaman ini, dan di sisi lain budidaya buah
Mengkudu sebagai wujud pelestarian lingkungan hidup.
Dengan semakin bertambah luasnya areal dan bertambah banyak hasil
dari buah Mengkudu, maka muncullah persoalah baru yaitu kelebihan hasil
panen. Untuk mengantisipasi hal ini, Kiai Ghofur menggagas pendirian pabrik
pengolahan sari buah Mengkudu yang mampu menampung hasil panen,
termasuk pemasaran hasil produksinya. Dengan adanya pabrik pengolahan buah
Mengkudu, maka terciptalah lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Paciran.
Saat ini di Kabupaten Lamongan sudah terdapat 6 kelompok tani
yang melakukan program penanaman Mengkudu pada area seluas 110 hektar.
Atas keberhasilan budidaya buah Mengkudu, yang kemudian berpengaruh pada
perubahan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, akhirnya mengantarkan Kiai
Ghofur mendapatkan penghargaan Kalpataru 2006 dalam katagori Pembina
Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan itu diserahkan langsung
Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka pada tanggal 12 Juni 2006.
Selain industri pengemasan buah Mengkudu, Kiai Ghofur juga
mempunyai usaha pembuatan pupuk Phosphat alam, pembuatan Dolomit
(Kaptan), pertambangan Phosphat dan Dolomit, produksi air mineral
“Quadrat”, home industri Madu Asma’ “Tawon Bunga”, peternakan kambing
dan sapi, persewaan alat berat, Koppontren Sunan Drajat, Radio Persada FM
97,2 MHz, Televisi Sunan Drajat (SDTV), dan lain-lain. Usaha-usaha tersebut
47Dokumentasi tanggal 12 Februari 2010.
29
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan operasionalisasi pondok pesantren
sehari-harinya, di samping itu dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat di sekitarnya.
Sebagai kiai yang memimpin pesantren cukup besar, maka Kiai
Ghofur tidak hanya mengurusi Pondok Pesantren dipimpinnya saja. Tetapi juga
melibatkan diri dalam ranah politik. Keterlibatan tersebut dapat secara langsung
dengan menjadi aktor politik, maupun keterlibatannya secara tidak langsung
dengan cara memberi restu atau mendukung terhadap suatu kekuatan politik
tertentu, mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional.
Adapun keterlibatan Kiai Ghofur secara langsung menjadi aktor
politik, ia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Lamongan periode 1992-
1997 dari Partai Golkar. Sedangkan keterlibatannya secara tidak langsung yaitu
dengan cara memberi restu atau mendukung terhadap suatu kekuatan politik
tertentu. Misalnya saja, dalam kasus pemilihan Kepala Desa Banjarwati tahun
2008, ia mendukung secara terang-terangan kepada Shodikin mantan Santri
Pondok Pesantren Sunan Drajat untuk dipilih menjadi Kepala Desa Banjarwati.
Kemudian akhirnya Shodikin terpilih menjadi Kepala Desa Banjarwati
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.
Dalam kasus Pemilu tahun 2009 Kiai Ghofur juga mendukung Partai
Gerindra. Hal ini dilakukan karena salah satu calon dari anggota DPR adalah
putranya yang bernama Gudfan. Di samping itu, ia beralasan bahwa programprogram
Partai Gerindra mempunyai kesamaan misi dengan program
pemberdayaan pesantren yang saat ini telah diupayakan. Meskipun akhirnya
dukungannya kepada Gudfan kurang dapat mencapai target perolehan suara
yang diinginkan, sehingga Gudfan tidak lolos menjadi anggota DPR dari Partai
Gerindra.
Dalam kasus pilihan presiden tahun 2009, ia juga mendukung calon
presiden dan wakil presiden yang diusung oleh Partai Gerindra yaitu Calon
Presiden Megawati dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto. Hal ini
dilakukan karena putra Kiai Ghofur yang bernama Gudfan menjadi anggota
Partai Gerindra. Di samping itu karena visi dan misi capres Megawati dan
cawapres Prabowo Subianto lebih mengutamakan ekonomi kerakyatan, yaitu
ada kesamaan dengan misi yang sedang dikembangkan oleh Pondok Pesantren
yang ia pimpin. Meskipun akhirnya capres dan cawapres yang didukung oleh
Kiai Ghofur tidak berhasil. Begitu pula dalam kasus pilihan Bupati Lamongan
tahun 2010, ia juga mendukung kepada calon Bupati Tsalis Fahami. Hal ini
dilakukan karena Tsalis Fahami adalah mantan santri Pondok Pesantren Sunan
Drajat yang keberadaannya harus didukung secara penuh oleh dirinya maupun
oleh para santri dan alumni Pondok Pesantren Sunan Drajat. Meskipun akhirnya
Tsalis Fahami tidak terpilih menjadi Bupati Lamongan.
Sebagian masyarakat ada yang kurang senang atau tidak setuju
dengan Kiai Ghofur karena sikap politiknya yang tidak independen. Karena Kiai
Ghofur pernah mengungkapkan bahwa dirinya sebagai seorang kiai harus netral.
Tetapi ternyata ia sendiri tidak netral dan bahkan kenyataannya ia terkesan
berpindah-pindah dari satu partai politik ke partai politik yang lain.
30
Masuknya Kiai Ghofur dalam ranah politik praktis merupakan suatu
upaya untuk melakukan dakwah bi al-h{a>l. Upaya tersebut dilakukan sematamata
untuk memajukan pondok pesantrennya. Pada masa orde baru ia
memasuki politik praktis dengan menggandeng Golkar.48 Dari “kemesraannya”
dengan Golkar tersebut, maka banyak fasilitas yang diberikan oleh pemerintah
untuk memajukan pondok pesantrennya. Misalnya pendirian SMP Negeri di
dalam pesantrennya. Tidak hanya itu saja, unit-unit usaha yang ada di
pesantrennya telah mengalami kemajuannya, juga berkat “kemesraannya”
dengan Golkar. Sehingga peranan Pondok Pesantren Sunan Drajat yang
umurnya masih relatif muda sudah dapat bersaing dengan pondok pesantren lain
yang ada di sekitarnya. Di samping memasuki ranah politik praktis, Kiai Ghofur
juga melakukan upaya pengkaderan terhadap santri-santrinya agar mewarnai
perpolitikan di Indonesia.
Selain itu, praktik dakwah bi al-h{a>l juga dilakukan melalui
pengobatan alternatif dan konsultasi spiritual. Kiai Ghofur mempunyai cara
tersendiri dalam menolong orang-orang yang minta pengobatannya atau
berkonsultasi dalam masalah spiritual. Penulis mengamati dari dekat bahwa
banyak masyarakat yang datang ke rumahnya untuk mengadukan
permasalahannya dan meminta solusi atau minta didoakan oleh Kiai Ghofur.
Dalam masalah doa, Kiai Ghofur tidak hanya berdoa sendirian. Tetapi
ia juga mempunyai “tim khusus” untuk membantu kemujaraban dari doanya.
Tim khusus tersebut kurang lebih berjumlah 500 orang yang terdiri atas yatimpiatu
dan fakir-miskin yang tugasnya hanya berdoa saja. Tim khusus tersebut
diberi fasilitas biaya hidup sehari-hari dan disekolahkan di pesantrennya secara
gratis.
Selain itu, konstruksi bentuk dakwah yang dilakukan oleh Kiai
Ghofur juga melalui toleransi dan adaptasi terhadap budaya Jawa. Toleransi dan
adaptasi terhadap budaya Jawa merupakan salah satu ajaran penting yang
ditanamkan oleh Kiai Ghofur, karena ia mengetahui bahwa masyarakat Jawa
dan sekitarnya memiliki banyak ragam budaya dan kepercayaan yang
bermacam-macam. Tidak semua yang benar itu yang terbaik. Sebab, suatu
permasalahan bisa saja memiliki poin-poin sikap yang dapat dibenarkan, namun
dari poin-poin itu terkadang ada sikap yang paling baik atau bahkan seharusnya
mesti dipilih, dengan pertimbangan lebih memungkinkan orang lain bersimpati
terhadap Islam.
Berkaitan dengan dakwah bi al-h{a>l melalui sedekah, Kiai Ghofur
termasuk orang yang dermawan. Ia sering membagi-bagikan beras maupun uang
kepada masyarakat di sekitarnya. Dengan sifat kedermawanan yang dilakukan
oleh Kiai Ghofur semata-mata agar dakwah yang telah dan sedang dilakukan
dapat berhasil dengan baik. Dengan sifat kedermawanan tersebut mad’u> akan
merasa mendapat perhatian dan terpesona, sehingga mad’u> dapat termotivasi
untuk melakukan perbuatan baik.
Lebih lanjut penulis jelaskan bahwa Kiai Ghofur adalah orang yang
31
ikhlas dalam berdakwah. Ia tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang.
Apakah mereka orang miskin, atau orang kaya, tingkat RT sekalipun ia akan
tetap datang. Seandainya tidak mendapatkan sangu (honor) atau sangu-nya
sedikit, ia akan tetap datang. Menurut Musta’in, suatu ketika ia pernah
mengundang Kiai Ghofur dengan bisyaroh yang nilainya kecil, maka ia tetap
datang, dan diundang lagi juga datang. Bahkan Kiai Ghofur pernah diundang ke
daerah terpelosok di wilayah Lamongan, di Musholla yang reot, dengan medan
yang agak sulit dijangkau, maka ia juga tetap datang. Pun juga saat ini, ia
mempunyai tempat pengajian rutin pada setiap malam Jumat Legi yang sudah
berjalan sejak tanggal 23 Agustus 2000 hingga sekarang ia masih Istiqamah.
Penulis juga melihat bahwa perjalanan dakwah Kiai Ghofur tidak
hanya di dalam negeri, tetapi kerap melakukan perjalanan dakwah sampai ke
luar negeri, misalnya ke Malaysia, Singapura, maupun India. Kumunitas mad’u
di Malaysia misalnya, sebenarnya sudah dibangun sejak lama. Sebagian TKI
dari Paciran yang ada di Malaysia merupakan santri-santri yang pernah
digembleng di Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Berdasarkan uraian singkat di atas, tentang dakwah bi al-h{a>l yang
dilakukan oleh Kiai Ghofur antara lain; (1) Dakwah melalui pembangunan dan
pengembangan lembaga pendidikan; (2) Dakwah melalui pemberdayaan
masyarakat pesisir Paciran yang meliputi penghijauan lahan kritis melalui
penanaman buah Mengkudu, mendirikan unit usaha pesantren; (3) Dakwah
melalui ranah politik; (4) Dakwah melalui pengobatan alternatif dan
konsultasi spiritual; (5) Dakwah melalui sikap toleransi dan adaptasi terhadap
budaya Jawa; (6) Dakwah melalui sedekah; dan (7) Dakwah melalui sikap yang
ikhlas.
Secara umum konstruksi sosial dakwah multidimensional Kiai Ghofur
sebagaimana disebutkan di atas, baik yang berkaitan dengan dakwah bi al-lisa>n,
dakwah bi al-qalam, dan dakwah bi al-h{a>l, maka berikut ini akan penulis
tipologikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Tipologi Bentuk Dakwah Kiai Ghofur
No Bentuk Dakwah Media Karakteristik
1 Bi al-Lisa>n:
a. Public Speaking:
1) Pengajian Kitab
Radio dan Live Streaming-
nya, serta Televisi
Senang memakai bahasa
Jawa; Gaya bertutur yang
komunikatif dan figuratif;
materinya aktual; menggunakan
bahasa “bunga”, me32
2) Ceramah
Agama
Langsung mendatangi
undangan ceramah
agama atau menggunakan
Orkes
sebagai media dakwah
nyisipkan cerita-cerita;
memberikan Ijazah atau
tuntunan doa; memberikan
sugesti kepada mad’u>; lebih
senang dalam ceramah
agama atau pengajian kitab
yang ada dialognya.
3) Khotbah Jumat Langsung melalui
mimbar masjid dalam
pelaksanaan Jumatan
Karakteristik: sama dengan
atas kecuali bahwa dalam
khotbah tidak ada dialognya
b. Konseling Langsung Memberikan solusi kepada
Mad’u>, meyakinkan mad’u>
dengan rumus-rumus fisika
2 Bi al-Qalam
Manuskrip saduran
berbahasa Arab
Menyadur dari al-Qur’a>n,
al-Hadi>th, kitab kuning, dan
di-jelaskan pada waktu
penga-jian malam Jumat
Majalah Tausiyah, konsultasi masalah
agama.
3 Bi al-H{a>l:
a. Membangun dan
Mengembangkan
Lembaga Pendidikan
Pondok Pesantren
Sunan Drajat, sekolah
formal, dan perguruan
tinggi.
Menjalin kerjasama dengan
pemerintah dan instansi lain;
memadukan kurikulum
lokal (pesantren), kurikulum
depag dan depdiknas,
memberikan pelatihanpelatihan
kepada para
santri.
b. Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir
Paciran
Melalui pondok pesantren
dan menjalin
kerjasama dengan
Instansi pemerintah.
Penghijauan lahan kritis
dengan menanan buah Mengkudu,
mendirikan unit
usaha pesantren.
c. Memasuki ranah
politik
Partai Politik dan
Pondok Pesantren
Sunan Drajat.
Memasuki partai politik
praktis, dan mengkader para
santri agar mewarnai perpolitikan
di Indonesia.
4) Pengobatan alternatif
dan konsultasi
spiritual
Langsung Berdoa dan mempunyai tim
khusus dalam membantu
doanya, memberikan air suwuk,
memberikan ramuan
tradisional, memberikan solusi.
5) Sikap toleransi dan
adaptasi terhadap
Langsung atau sikap
yang ditunjukkan
Bersikap toleransi dan
adaptasi terhadap budaya
33
budaya Jawa pada forum tanyajawab
dalam
ceramah agama.
Jawa.
6) Sedekah Langsung diberikan
atau sedekah diberikan
pada acara Khaul
Sunan Drajat
Menyantuni orang tidak
mampu, menyediakan poliklinik
kesehatan gratis bagi
orang tidak mampu
7) Sikap Ikhlas Ceramah agama Semangat untuk menghadiri
ceramah agama meskipun
de-ngan biaya sendiri dan
tem-patnya jauh, tidak
membeda-kan siapa
pengundangnya.
C. Konstruksi Sosial Dakwah Kiai Ghofur dalam Proses Eksternalisasi
Eksternalisasi adalah momen adaptasi diri dengan dunia sosio-kultural.
Dalam proses eksternalisasi yang paling mendasar adalah bagaimana individu atau
subjek dengan kemampuan agensinya melakukan adaptasi dengan teks-teks
kehidupan, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Bagi Kiai Ghofur, teksteks
kehidupan yang abstrak adalah teks-teks yang terdapat di dalam al-Qur’a>n,
al-H{adi>th, maupun kitab kuning, yang dalam kenyataannya masih membutuhkan
penafsiran, sehingga tidak mengherankan jika kemudian menghasilkan multi
interpretasi. Teks kehidupan yang nyata adalah kenyataan-kenyataan kehidupan
dalam dunia sosio-kultural-politik-religius sehari-hari yang dilakukan oleh Kiai
Ghofur selaku pendakwah di dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Teks-teks
tersebut adalah situasi di mana dakwah bi al-lisa>n, dakwah bi al-qalam, dan
dakwah bi al-h{a>l sedang dijalankan.
Dalam proses eksternalisasi ini, pemikiran, tindakan, dan interpretasi Kiai
Ghofur terhadap al-Qur’a>n, al-Hadi>th, kitab kuning maupun terhadap tindakan
para ulama terdahulu khususnya Walisanga yang telah memberikan tuntunan
dalam berdakwah khususnya di pulau Jawa ini, maka Kiai Ghofur meresponsnya
yang kemudian ia mengkonstruksi dakwahnya sesuai dengan perkembangan
zaman saat ini. Ia tidak serta-merta menggunakan media yang sama, tetapi
menggunakan media yang masih relevan dengan perkembangan zaman saat ini.
Jika tadi disebutkan bahwa kalau Walisanga menggunakan kesenian Wayang Kulit
sebagai media dakwah, maka Kiai Ghofur menggunakan kesenian Qasidah Modern
Persada Ria Sunan Drajat, dan orkes-orkes yang lain sebagai media dakwahnya.
Media kesenian orkes yang dijadikan oleh Kiai Ghofur sebagai media
dakwah tersebut tidak lain adalah hasil dari proses konstruksi dakwah Kiai Ghofur
yang awalnya merupakan proses adaptasi dengan pemikiran, interpretasi, dan
tindakan para ulama terdahulu khususnya Walisanga. Untuk mengetahui
bagaimana bentuk dakwah bi al-lisa>n yang dilakukan oleh Kiai Ghofur dengan
menggunakan media kesenian orkes dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya.
Di samping berdakwah menggunakan media kesenian orkes, Kiai Ghofur
juga mempraktikkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Walisanga, khususnya Sunan
Drajat. Munurut Abdul Basid bahwa konstruksi dakwah Kiai Ghofur sebenarnya
34
bisa dibentuk oleh pemikiran-pemikiran atau ajaran-ajaran Sunan Drajat.
Misalnya, sebagaimana bunyi tulisan yang digantung di halaman makam Sunan
Drajat berikut ini: “Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan
marang wong kang luwe. Menehono busono marang wong kang mudo. Menehono
ngiyub marang wong kang kudanan (Berilah tongkat kepada orang yang buta,
Berilah makan kepada orang yang kelaparan. Berilah pakaian kepada orang yang
telanjang. Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan).”49 Untuk
mempermudah pemahaman tentang konstruksi sosial dakwah Kiai Abdul Ghofur
dalam proses eksternalisasi, berikut ini akan penulis jelaskan dalam skema di
bawah ini.
Skema: 6. 1
Konstruksi Sosial Dakwah Kiai Ghofur dalam Proses Eksternalisasi
D. Konstruksi Sosial Dakwah Kiai Ghofur dalam Proses Objektivasi
Objektivasi adalah proses meletakkan suatu fenomena berada di luar diri
manusia, sehingga seakan-akan sebagai sesuatu yang objektif. Proses objektivasi
ini terjadi ketika telah menjadi proses fenomena keluar dari individu. Sebagai
proses interaksi diri dengan dunia sosio-kultural, maka objektivasi merupakan
proses penyadaran akan posisi diri di tengah interaksinya dengan dunia sosialnya.
Dalam objektivasi ini seakan-akan terdapat dua realitas diri yang subjektif dan
realitas lainnya yang berada diluar diri yang objektif.50 Dalam proses interaksi diri
dengan dunia sosio kultural yang terpenting adalah penyadaran diri. Kiai Ghofur
49Abdul Basid, Wawancara, Gresik, 20 Oktober 2010.
50Lihat Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta:
LKiS, 2007), 271.
Interpretasi
Kiai Ghofur
Al-Qur’>an, dan
Al-H{adi>th Nabi
Kitab Kuning
(Tafsir Ulama)
Tindakan Dakwah
Ulama Terdahulu
(Walisanga)
Bentuk Dakwah
Kiai Ghofur
Adaptasi
Masyarakat
35
menyadari bahwa dirinya berada di dalam proses interaksi dengan orang lain
sehingga proses penyesuaian dengan teks-teks suci maupun teks-teks kehidupan
menjadi sangat mengedepan. Penyesuaian ini hanya dengan dunia teks saja akan
menghasilkan pemikiran dan tindakan dakwah yang cenderung radikal. Akan
tetapi jika hal itu dilengkapi dengan pembacaan terhadap teks-teks dunia sosial
maka akan menghasilkan kreativitas sosial yang sebenarnya sangat dibutuhkan
dalam kehidupan ini, termasuk dalam aktivitas berdakwah dengan segala
dinamikanya. Oleh sebab itu, dua realitas yang telah disebutkan di atas
membentuk jaringan interaksi intersubjektivitas melalui institusionalisasi.51
Proses objektivasi dalam kaitannya dengan konstruksi sosial dakwah
Kiai Ghofur dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, Kiai Ghofur, dunia
pesantren, dan situasi dakwah pada masa sekarang ini adalah entitas yang berbeda.
Baginya situasi dakwah pada masa kini mempunyai karakter yang berbeda dengan
situasi dakwah pada masa lalu. Situasi dakwah masa lampau dengan situasi
dakwah saat ini adalah entitas yang berbeda dengannya dalam proses objektivasi
ini. Karakteristik masyarakat saat ini yang heterogen dengan berbagai
konsekwensi logisnya merupakan dunia sosial sebagai suatu realitas. Dialog
intersubjektivitas antara Kiai Ghofur dengan realitas yang berada di luar dirinya
sangat memungkinkan terjadinya pemaknaan baru dalam memahami
perkembangan dakwah yang selama ini dilakukan. Pemaknaan baru tersebut
merupakan hasil dari proses objektivasi yang terjadi antara dua realitas yang
berakhir dengan integrasi pemaknaan baru.
Kedua, pelembagaan atau institusionalisasi, yaitu proses untuk
membangun kesadaran menjadi tindakan. Dalam proses institusionalisasi ini, nilainilai
yang menjadi pedoman di dalam melakukan penafsiran terhadap tindakan
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, sehingga apa yang disadari adalah
apa yang dilakukan. Pada tahap ini, Kiai Ghofur melakukan suatu tindakan
tertentu. Hal itu dilakukan bukan karena terpengaruh oleh suasana yang
melingkupinya, tetapi karena Kiai Ghofur memahami betul tujuan dari tindakan
tersebut melalui proses pemaknaan. Ia melakukannya karena sudah memahami
benar manfaat yang akan diperoleh dari tindakan tersebut. Misalnya pada kasus
pemilihan kepala desa, anggota legislatif, bupati dan wakil, gubernur dan
wakilnya, serta presiden dan wakilnya. Dalam kasus ini pada umumnya afiliasi
politik Kiai Ghofur lebih cenderung kepada orang-orang yang berjiwa santri dan
dekat dengan pesantren.
Kiai Ghofur berpendapat, bahwa dakwah adalah mengajak manusia
supaya kembali kepada Islam, dengan cara yang bijaksana, baik, damai, bukan
dengan kekerasan, dan lain sebagainya. Supaya manusia bisa mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.52 Di sinilah ia memahami bahwa pentingnya
berdakwah dengan cara yang bijakasana. Bijaksana itu pengertiannya luas, yaitu
cara-cara yang baik yang dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Di atas sudah
dijelaskan bagaimana Walisanga telah berdakwah dan bagaimana Kiai Ghofur
51Lihat Ibid., 272.
52Kiai Ghofur, Wawancara, Sidoarjo, 23 Desember 2010.
36
mengkonstruksi dakwahnya. Konstruksi dakwah yang selama ini Kiai Ghofur
lakukan adalah sesuatu yang objektif. Melalui dialektika dengan berbagai
pendekatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada,
maka terbentuklah suatu bentuk konstruksi dakwah Kiai Ghofur. Untuk
mempermudah pemahaman tentang konstruksi sosial dakwah Kiai Abdul Ghofur
dalam proses objektivasisi, berikut ini akan penulis jelaskan dalam skema di
bawah ini.
Skema: 6. 2
Konstruksi Sosial Dakwah Kiai Ghofur dalam Proses Objektivasi
E. Konstruksi Sosial Dakwah Kiai Ghofur dalam Proses Internalisasi
Internalisasi adalah proses penarikan kembali dunia sosial yang berada di
luar diri manusia ke dalam diri manusia; dalam arti dunia sosial yang telah
terobjektivasi tersebut ditarik kembali ke dalam diri manusia. Sebagai proses
indentifikasi diri, internalisasi merupakan momen untuk menempatkan diri di
tengah kehidupan sosial sehingga menghasilkan berbagai tipologi dan
penggolongan sosial yang didasari oleh basis pemahaman, kesadaran, dan
identifikasi diri.53
Konstruksi sosial dakwah Kiai Ghofur dalam proses internalisasi dapat
teridentifikasi melalui jalur sosialisasi primer dan jalur sosialisasi primer. Jika
berkaitan dengan jalur sosialisasi primer, maka pemahaman dan tindakan dakwah
Kiai Ghofur banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan latar belakang
pendidikan yang selama ini dialaminya. Sedangkan jalur sosialisasi sekunder,
53Lihat Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 276 dan Ali Maschan Moesa,

Tagged:

1 komentar:

  1. Riwayat Hidup Kiai Ghofur ~ Cah Kapu >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Riwayat Hidup Kiai Ghofur ~ Cah Kapu >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Riwayat Hidup Kiai Ghofur ~ Cah Kapu >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus